Kamis, 05 November 2009

BAHASA OSING (BANYUWANGI)


Bahasa Osing

Bahasa Osing atau bahasa komunikasi bagi masyarakat Banyuwangi, kota yang terletak di ujung paling timur Pulau Jawa.... Hmmm coba baca dan simaklah ..Sebutan OSING sebenarnya berasal dari orang luar Banyuwangi (orang kulonan) terhadap kultur etnik Banyuwangi. Secara etimologis kata Osing dapat diartikan dengan kata ’TIDAK’ dalam Bahasa Indonesia atau ORA dalam Bahasa Jawa. Dalam konteks kebahasaan Pigeaud (1929) berpendapat bahwa, kata OSING bermakna ketertutupan penduduk asli Banyuwangi terhadap penduduk pendatang, atau dapat juga diartikan sebagai penolakan penduduk asli Banyuwangi dalam menerima dan hidup bersama dengan para pendatang dari luar Banyuwangi. Keterasingan yang disebabkan secara geografis Banyuwangi memang agak terisolasi, yaitu tertutup oleh pegunungan Ijen dan raung di sebelah utara, Selat Bali disebelah timur, dan Pesisir Selatan Pantai Selatan di sebelah selatan. Atau karena keterombang-ambingan keadaan yang tidak menentu saat itu. Adanya pengaruh peradaban feodalisme. Kerajaan-kerajaan di Jawa dan Bali, atau belakangan oleh Kompeni (VOC) Belanda. Keterasingan tersebut bukan hanya pada karakter Orang Osing, tapi juga pada bahasa dan segi-segi kehidupan lainnya. Perilaku yang mengingatkan kita pada perilaku suku terasing di pedalaman Nusantara. Dalam perkembanga jaman, perubahan struktur komponen masyarakat Osing berubah. Banyuwangi tidak lagi introvert terhadap penduduk pendatang. Mereka lebih membuka diri dan merasa ditantang untuk mengadakan perbaikan ekonomi atau pengetahuan, dengan jalan merantau ke kota-kota lain. Struktur komponen masyarakat pendatangpun bertambah dan menjadikan lapisan masyarakat Banyuwangi asli berkurang. Padahal kenyataannya masyarakat pendatang umumnya enggan belajar Bahasa Osing. Penyebabnya adalah penduduk pendatang membutuhkan waktu yang relatif lama untuk dapat berbahasa Osing dengan lancar, terutama dalam hal aksen serta ketepatan mengartikulasikan kosa kata. Ada pemeo yang berkembang di kalangan generasi muda, bahwa Bahasa Banyuwangi dianggap ’ndeso’ bila dibandingkan dengan ’Bahasa Jakarte’. Meraka merasa lebih bangga bila dapat berkata : ’Ehhh jumpe lagi ama gue, bang...!!!’ daripada harus berkata : ’Ehhh kecaruk maning ambi ison, kang ...!!!’ Sungguh tidak mengherankan bila kemudian banyak para Budayawan Banyuwangi mengkawatirkan akan eksistensinya. Sangat beralasan, karena hanya ada sekitar 53% yang merupakan penutur aktif Bahasa Osing. Hanya ada 10 (sepuluh) kecamatan di Banyuwangi yang penduduknya dominan bertutur dengan Bahasa Osing. Antara lain : Rogojampi, Giri, Genteng, Cluring, Songgon, Kabat, Srono dan Singgonjuruh. Sembilan kecamatan lainnya mulai terimbas Bahasa Jawa, Madura, atau Indonesia. Bahkan menurut Hasan Ali (bapak dari Emillia Contessa, seorang budayawan daerah), dari 175 desa di Banyuwangi (termasuk desa pemakai Bahasa Campuran Osing Jawa atau Osing Madura), hanya 126 yang berbahasa Osing. Penyusutan pemakai Bahasa Osing salah satunya disebabkan larena bahas tersebut sangat egaliter. Maksudnya dalam Bahasa Osing tidak mengenal ’unggah-ungguhing basa’ atau ’kromo’, padahal kenyataannya kelas-kelas sosial yang baru mulai terbentuk. Bahasa dan Orang Osing tidak mengenal hirarki atau status sosial. Kata ganti milik, kosa kata, atau kata panggilan untuk orang ke-2 (dua) dan ke-3 (tiga) tidak dibedakan antara satu dengan yang lainnya kendati berbeda status sosial. Ini menyebabkan beberapa orang Banyuwangi berusaha memperbaiki tutur kata bahasa Osing menjadi lebih halus, yaitu dengan mencampur-adukkan dengan Bahasa Jawa Halus untuk kesempatan-kesempatan tertentu yang bersifat formal. Penggunaan Bahasa Osing untuk percakapan ’ragam tinggi’ pada penggunaan keagamaan, pendidikan dan hubungan formal hanya sedikit dibandingkan dengan ragam rendah. Maksudnya untuk pergaulan yang dianggap memerlukan ’kesopanan’ dan ’unggah-ungguhing basa’ Orang Osing lebih menyukai memakai Bahasa jawa. Sedangkan di lingkungan keluarga campuran, Bahasa jawa dan Bahasa Indonesia lebih banyak digemari. Sementara disisi lain, bertahun-tahun para akademisi bahasa dan sastra daerah terjebak pada dikotomi : Apakah Bahasa Osing sekedar ragam dialek Bahasa Jawa ataukah bahasa tersendiri. Secara berkelakar seorang dosen saya (Kusnadi) pernah berpendapat bahwa : Sepanjang Bahasa Osing itu masih bisa dipahami oleh orang Jawa, maka tetap saja diklasifikasikan sebagai ’ DIALEK’ bukan ’BAHASA’. Secara guyonan pula saya timpali dengan berpandangan etnik, tentang adanya proses akulturasi budaya serta adanya persamaan sumber bahasa (Bahasa jawa Kuno) seraya saya komparasikan dengan Bahasa negeri Jiran yang mempunyai sumber yang sama dengan Bahasa Nasional kita, Bahasa Melayu. Bahkan saya mencoba membandingkan antara Bahasa Jawa Kuna dengan Bahasa Sansekerta, mengapa Bahasa Sansekerta tidak dikatakan sebagai Bahasa Jawa Kuna dialek Sansekerta ? Anehnya, pada Suku Tengger di Probolinggo mempunyai ’Jalur Budaya’ yang sama dengan masyarakat Banyuwangi. Ada beberapa kosa kata yang serupa dengan Bahasa Osing (Banyuwangi), sepertihalnya kata-2 : ’paran’, ’siro’, (sira, jika di Tengger), dan Isun. Namun ragam sosial tengger lebih tampak bila dibandingkan Bhasa Osing. Seperti isalnya Ragam Sosial Jenis Kelamin. Untuk kata ganti orang I, di Banyuwngi tidak dibedakan sebagaimana di Tengger. Ison (nison) artinya ’saya’ untuk wanita, dan reyang (eyang) artinya ’saya’ untuk laki-2 apabila di Tengger. Keduanya berfungsi sebagai subyek atau kata ganti milik. Tetapi berbeda di Banyuwangi, Ison tidak mengenal perbedaan baik laki-laki atau perempuan. Untuk menjawabnya memang perlu adanya prespektif yang lebih luas, tidak saja hanya berkutat pada leksikologi, fonologi, morfologi, sitaksis, atau semantik saja tetapi perlu juga pendekatan-2 lainnya seperti historis, psycologis atau politis. Walaupun menurut saya tidak terlalu penting status kebahasaaan tersebut, karena ada yang lebih penting lagi dari itu yaitu : kelestariannya !!. Sepertinya Bahasa Osing mulai diajarkan di sekolah2 dan telah memiliki Tata Bahasa dan Kamus Bahasa Osing, tapi apalah artinya bila dalam pergaulan sehari2 masih saja enggan untuk memakainya. Padahal menurut penelitian dahulu kala pada tahun 1930-an, penduduk beberapa desa seperti Biting dan Gemiri di Jember, Blendungan di Bondowoso serta Paiton di Situbondo diketahui juga sebagai penutur Bahasa Osing yang berdiam di luar wilayah Banyuwangi. Yang jelas Serat budaya penyangga anyaman kebudayaan akan meruyak dan tidak berfungsi menjadi pengikat kesatuan kebudayaan, bila masyarakatnya tidak lagi dapat menjaga, merawat dan melestarikannya. Kelendi Kang ?

BAHASA MADURA


Bahasa Madura adalah bahasa yang digunakan Suku Madura. Bahasa Madura mempunyai penutur kurang lebih 15 juta orang, dan terpusat di Pulau Madura, Ujung Timur Pulau Jawa atau di kawasan yang disebut kawasan Tapal Kuda terbentang dari Pasuruan, Surabaya, Malang, sampai Banyuwangi, Kepulauan Kangean, Kepulauan Masalembo, hingga Pulau Kalimantan.
Di Pulau Kalimantan, masyarakat Madura terpusat di kawasan Sambas, Pontianak, Bengkayang dan Ketapang,
Kalimantan Barat, sedangkan di Kalimantan Tengah mereka berkonsentrasi di daerah Kotawaringin Timur, Palangkaraya dan Kapuas. Namun kebanyakan generasi muda Madura di kawasan ini sudah hilang penguasaan terhadap bahasa ibunda mereka.
Namun akibat terjadinya kerusuhan antara kaum di Kalimantan (Sambas dan Sampit), sebahagian besar masyarakat Madura mengungsi kembali ke tanah leluhurnya, dan mereka masih berharap untuk dapat kembali meski warga Kalimantan khususnya Dayak bertegas untuk tidak menerima mereka kembali.
Kosakata
Bahasa Madura merupakan anak cabang dari bahasa Austronesia ranting Malayo-Polinesia, sehingga mempunyai kesamaan dengan bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia.
Bahasa Madura banyak terpengaruh oleh Bahasa
Jawa, Melayu, Bugis, Tionghoa dan lain sebagainya. Pengaruh bahasa Jawa sangat terasa dalam bentuk sistem hierarki berbahasa sebagai akibat pendudukan Mataram atas Pulau Madura. Banyak juga kata-kata dalam bahasa ini yang berakar dari bahasa Indonesia atau Melayu bahkan dengan Minangkabau, tetapi sudah tentu dengan lafal yang berbeda.
Contoh :
bhila (baca : bhileh e schwa) sama dengan bila = kapan
oreng = orang
tadha' = tidak ada (hampir sama dengan kata tadak dalam Melayu Pontianak)
dhimma (baca : dimmah) = mana? (hampir serupa dengan dima di Minangkabau)
tanya = sama dengan tanya
cakalan = tongkol (hampir mirip dengan kata Bugis : cakalang tapi tidak sengau)
onggu = sungguh, benar (dari kata sungguh)
Kamma (baca : kammah mirip dengan kata kama di Minangkabau)= kemana?
Sistem pengucapan
Bahasa Madura mempunyai sistem pelafalan yang unik. Begitu uniknya sehingga orang luar Madura yang berusaha mempelajarinyapun mengalami kesulitan, khususnya dari segi pelafalan tadi.
Bahasa Madura mempunyai lafal sentak dan ditekan terutama pada huruf b, d, j, g, jh, dh dan bh atau pada konsonan rangkap seperti jj, dd dan bb . Namun demikian penekanan ini sering terjadi pada suku kata bagian tengah.
Sedangkan untuk sistem vokal, Bahasa Madura mengenal huruf a schwa selain a kuat. Sistem vokal lainnya dalam Bahasa Madura adalah i, u, e dan o.
Tingkatan Bahasa
Bahasa Madura sebagaimana bahasa-bahasa di kawasan Jawa dan Bali juga mengenal Tingkatan-tingkatan, namun agak berbeda karena hanya terbagi atas tiga tingkat yakni :
Ja' - iya (sama dengan ngoko)
Engghi-Enthen (sama dengan Madya)
Engghi-Bunthen (sama dengan Krama)
Contoh :
Berempa' arghena paona? : Mangganya berapa harganya? (Ja'-iya)
Saponapa argheneppon paona? : Mangganya berapa harganya? (Engghi-Bunthen)
[
sunting] Dialek-dialek Bahasa Madura
Bahasa Madura juga mempunyai dialek-dialek yang tersebar di seluruh wilayah tuturnya. Di Pulau Madura sendiri pada galibnya terdapat beberapa dialek seperti :
Dialek
Bangkalan
Dialek
Sampang
Dialek
Pamekasan
Dialek
Sumenep, dan
Dialek
Kangean
Dialek yang dijadikan acuan standar Bahasa Madura adalah dialek Sumenep, karena Sumenep di masa lalu merupakan pusat kerajaan dan kebudayaan Madura. Sedangkan dialek-dialek lainnya merupakan dialek rural yang lambat laun bercampur seiring dengan mobilisasi yang terjadi di kalangan masyarakat Madura. Untuk di pulau Jawa, dialek-dialek ini seringkali bercampur dengan Bahasa Jawa sehingga kerap mereka lebih suka dipanggil sebagai
Pendalungan daripada sebagai Madura. Masyarakat di Pulau Jawa, terkecuali daerah Situbondo, Bondowoso, dan bagian timur Probolinggo umumnya menguasai Bahasa Jawa selain Madura.
Contoh pada kasus kata ganti kamu :
kata be'en umum digunakan di Madura. Namun kata be'na dipakai di Sumenep.
sedangkan kata kakeh untuk kamu lazim dipakai di Bangkalan bagian timur dan Sampang.
Heddeh dan Seddeh dipakai di daerah pedesaan Bangkalan.
Khusus Dialek Kangean, dialek ini merupakan sempalan dari Bahasa Madura yang karena berbedanya hingga kerap dianggap bukan bagian Bahasa Madura, khususnya oleh masyarakat Madura daratan.
Contoh :
akoh : saya (sengko' dalam bahasa Madura daratan)
kaoh : kamu (be'en atau be'na dalam bahasa Madura daratan)
berrA' : barat (berre' dengan e schwa dalam bahasa Madura daratan)
morrAh : murah (modhe dalam bahasa Madura daratan)
Bawean
Bahasa
Bawean ditengarai sebagai kreolisasi bahasa Madura, karena kata-kata dasarnya yang berasal dari bahasa ini, namun bercampur aduk dengan kata-kata Melayu dan Inggris serta bahasa Jawa karena banyaknya orang Bawean yang bekerja atau bermigrasi ke Malaysia dan Singapura.
Bahasa ini dituturkan di Pulau Bawean, Gresik, Malaysia, dan Singapura. Di dua tempat terakhir ini bahasa Bawean dikenal sebagai Boyanese. Intonasi orang Bawean mudah dikenali di kalangan penutur bahasa Madura. Perbedaan kedua bahasa dapat diibaratkan dengan perbedaan antara bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia, yang serupa tapi tak sama meskipun masing-masing dapat memahami maksudnya.
Contoh-contoh:
eson = aku (sengkok/engkok dalam bahasa Madura)
kalaaken = ambilkan (kalaagghi dalam bahasa Madura)
trimakasih = terimakasih (salengkong / sakalangkong / kalangkong dalam Bahasa Madura)
adek = depan (adek artinya dalam bahasa Madura = tidak ada)
[
sunting] Perbandingan dengan bahasa Melayu
Bahasa Bawean juga banyak yang sememangnya sama dengan Bahasa Melayu, contohnya:
Dapur (baca : Depor) = Dapur
Kanan = Kanan
Banyak (baca : benyyak) = Banyak
Masuk = Masuk
Suruh = Suruh
Perbedaan imbuhan di depan, contohnya:
Ngakan = Makan
Nginum = Minum
Arangkak = Merangkak
Huruf 'y' biasanya ditukar ke huruf 'j' seperti:
Bajar (baca : Bejer) = Bayar
Lajan (baca : Lajen) = Layan
Abhajang (baca : Sembejeng) = Sembahyang
Huruf 'w' di pertengahan pula ditukar ke huruf 'b' seperti:
Bhabang (baca : Bebeng)= Bawang
Jhaba (baca : Jebe) = Jawa
Perbandingan dengan bahasa Jawa
Perkataan yang sama dengan bahasa Jawa:
Bahasa Jawa = Bahasa Bawean
Kadung = Kadung (Bahasa Melayu = Terlanjur)
Peteng = Peteng (Bahasa Melayu = Gelap)
Huruf 'w' di pertengahan pula ditukar ke huruf 'b' seperti:
Bahasa Jawa ~ Bahasa Bawean
Lawang = Labang(baca Labeng) (Bahasa Melayu = Pintu)
Huruf 'y' di pertengahan pula ditukar ke huruf 'j' seperti:
Payu = paju (Bahasa Melayu = Laku)
Perbandingan dengan bahasa Banjar
Perkataan yang sama dengan bahasa Banjar:
Bahasa Banjar = Bahasa Bawean
Mukena = Mukena (Bahasa Melayu = Telekung Sembahyang)
Bibini = Bibini (Bahasa Melayu = Perempuan
Perbandingan dengan bahasa Tagalog
Bahasa Bawean = Bahasa Tagalog
Apoy = Apoy (Bahasa Melayu = Api)
Elong = Elong ;penggunaan e taling (Bahasa Melayu = Hidung)
Matay = Mamatay (Bahasa Melayu = Mati)
Contoh :
Eson terro ka be'na = saya sayang kamu (Eson tidak dikenal di bahasa Madura)
Bhuk, badha berrus? = Buk, ada sikat? (berrus dari kata brush)
Ekalakaken = ambilkan (di Madura ekala'aghi, ada pengaruh Jawa kuno di akhiran -aken.
Silling = langit-langit (dari kata ceiling)

BAHASA JAWA

Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa terutama di beberapa bagian Banten terutama kota Serang, kabupaten Serang, kota Cilegon dan kabupaten Tangerang, Jawa Barat khususnya kawasan Pantai utara terbentang dari pesisir utara Karawang, Subang, Indramayu, kota Cirebon dan kabupaten Cirebon, Yogyakarta, Jawa Tengah & Jawa Timur di Indonesia.



Penyebaran Bahasa Jawa
Penduduk Jawa yang berpindah ke Malaysia turut membawa bahasa dan kebudayaan Jawa ke Malaysia, sehingga terdapat kawasan pemukiman mereka yang dikenal dengan nama kampung Jawa, padang Jawa. Di samping itu, masyarakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kawasan-kawasan luar Jawa yang didominasi etnis Jawa atau dalam persentase yang cukup signifikan adalah : Lampung (61,9%), Sumatra Utara (32,6%), Jambi (27,6%), Sumatera Selatan (27%). Khusus masyarakat Jawa di Sumatra Utara, mereka merupakan keturunan para kuli kontrak yang dipekerjakan di berbagai wilayah perkebunan tembakau, khususnya di wilayah Deli sehingga kerap disebut sebagai Jawa Deli atau Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera). Sedangkan masyarakat Jawa di daerah lain disebarkan melalui program transmigrasi yang diselenggarakan semenjak zaman penjajahan Belanda.
Selain di kawasan
Nusantara ataupun Malaysia. Masyarakat Jawa juga ditemukan dalam jumlah besar di Suriname, yang mencapai 15% dari penduduk secara keseluruhan, kemudian di Kaledonia Baru bahkan sampai kawasan Aruba dan Curacao serta Belanda. Sebagian kecil bahkan menyebar ke wilayah Guyana Perancis dan Venezuela.

Fonotaktik
Dalam bahasa Jawa baku, sebuah sukukata bisa memiliki bentuk seperti berikut: (n)-K1-(l)-V-K2.
Artinya ialah Sebagai berikut:
(n) adalah fonem sengau homorgan.
K1 adalah konsonan eksplosiva ata likuida.
(l) adalah likuida yaitu /r/ atau /l/, namun hanya bisa muncul kalau K1 berbentuk eksplosiva.
V adalah semua vokal. Tetapi apabila K2 tidak ada maka fonem /ə/ tidak bisa berada pada posisi ini.
K2 adalah semua konsonan kecuali eksplosiva palatal dan retrofleks; /c/, /j/, /ʈ/, dan /ɖ/.
Contoh:
a
an
pan
prang
njlen



Dialek-Dialek Bahasa Jawa
Bahasa Jawa pada dasarnya terbagi atas dua klasifikasi dialek, yakni :
Dialek daerah, dan
Dialek sosial
Karena bahasa ini terbentuk dari gradasi-gradasi yang sangat berbeda dengan Bahasa Indonesia maupun Melayu, meskipun tergolong rumpun Austronesia. Sedangkan dialek daerah ini didasarkan pada wilayah, karakter dan budaya setempat. Perbedaan antara dialek satu dengan dialek lainnya bisa antara 0-70%. Untuk klasifikasi berdasarkan dialek daerah, pengelompokannya mengacu kepada pendapat E.M. Uhlenbeck, 1964, di dalam bukunya : "A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura", The Hague: Martinus Nijhoff
[1].
Kelompok Bahasa Jawa Bagian Barat :
Dialek Banten
Dialek Cirebon
Dialek Tegal
Dialek Banyumasan
Dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)
Kelompok pertama di atas sering disebut
bahasa Jawa ngapak-ngapak.
Kelompok Bahasa Jawa Bagian Tengah :
Dialek Pekalongan
Dialek Kedu
Dialek Bagelen
Dialek Semarang
Dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
Dialek Blora
Dialek Surakarta
Dialek Yogyakarta
Dialek Madiun
Kelompok kedua di atas sering disebut Bahasa Jawa Standar, khususnya dialek Surakarta dan Yogyakarta.
Kelompok Bahasa Jawa Bagian Timur :
Dialek Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro)
Dialek Surabaya
Dialek Malang
Dialek Jombang
Dialek Tengger
Dialek Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing)
Kelompok ketiga di atas sering disebut Bahasa Jawa Timuran.
Dialek sosial dalam Bahasa Jawa berbentuk sebagai berikut :
Ngoko lugu
Ngoko andhap
Madhya
Madhyantara
Krama
Krama Inggil
Bagongan
Kedhaton

BAHASA JEPANG

Bahasa Jepang (日本語; romaji: Nihongo) merupakan bahasa resmi di Jepang dan jumlah penutur 127 juta jiwa.
Bahasa Jepang juga digunakan oleh sejumlah
penduduk negara yang pernah ditaklukkannya seperti Korea dan Republik Cina. Ia juga dapat didengarkan di Amerika Serikat (California dan Hawaii) dan Brasil akibat emigrasi orang Jepang ke sana. Namun keturunan mereka yang disebut nisei (二世, generasi kedua), tidak lagi fasih dalam bahasa tersebut.
Bahasa Jepang terbagi kepada dua bentuk yaitu Hyoujungo (標準語), pertuturan standar, dan Kyoutsugo (共通語), pertuturan umum. Hyoujungo adalah bentuk yang diajarkan di sekolah dan digunakan di televisi dan segala perhubungan resmi.
Bahasa Jepang mempunyai 5 huruf vokal yaitu /a/, /i/, /u/, /e/, dan /o/.
Lafal vokal bahasa Jepang mirip
bahasa Indonesia. Contohnya:
/a/ seperti "bapa"
/i/ seperti "ibu"
/u/ seperti "urut"
/e/ seperti "esok"
/o/ seperti "obor"


Tulisan bahasa Jepang
Tulisan bahasa Jepang berasal dari tulisan bahasa China (漢字/kanji) yang diperkenalkan pada abad keempat Masehi. Sebelum ini, orang Jepang tidak mempunyai sistem penulisan sendiri.
Tulisan Jepang terbagi kepada tiga:
aksara Kanji (漢字) yang berasal dari China
aksara Hiragana (ひらがな) dan
aksara Katakana (カタカナ); keduanya berunsur daripada tulisan kanji dan dikembangkan pada abad kedelapan Masehi oleh rohaniawan Buddha untuk membantu melafazkan karakter-karakter China.
Kedua aksara terakhir ini biasa disebut
kana dan keduanya terpengaruhi fonetik bahasa Sansekerta. Hal ini masih bisa dilihat dalam urutan aksara Kana. Selain itu, ada pula sistem alihaksara yang disebut romaji.
Bahasa Jepang yang kita kenal sekarang ini, ditulis dengan menggunakan kombinasi aksara Kanji, Hiragana, dan Katakana. Kanji dipakai untuk menyatakan arti dasar dari kata (baik berupa kata benda, kata kerja, kata sifat, atau kata sandang). Hiragana ditulis sesudah kanji untuk mengubah arti dasar dari kata tersebut, dan menyesuaikannya dengan peraturan tata bahasa Jepang.


Kana
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Hiragana dan Katakana
Aksara Hiragana dan Katakana (kana) memiliki urutan seperti dibawah ini, memiliki 46 set huruf masing-masing. Keduanya (Hiragana dan Katakana) tidak memiliki arti apapun, seperti abjad dalam Bahasa Indonesia, hanya melambangkan suatu bunyi tertentu, meskipun ada juga kata-kata dalam bahasa Jepang yang terdiri dari satu 'suku kata', seperti me(mata), ki (pohon) ni (dua), dsb. Abjad ini diajarkan pada tingkat pra-sekolah (TK) di Jepang.


Kanji
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kanji
Banyak sekali kanji yang diadaptasi dari Tiongkok, sehingga menimbulkan banyak kesulitan dalam membacanya. Dai Kanji Jiten adalah kamus kanji terbesar yang pernah dibuat, dan berisi 30.000 kanji. Kebanyakan kanji sudah punah, hanya terdapat pada kamus, dan sangat terbatas pemakaiannya, seperti pada penulisan suatu nama orang.
Oleh karena itu Pemerintah Jepang membuat suatu peraturan baru mengenai jumlah aksara kanji dalam Joyō Kanji atau kanji sehari-hari yang dibatasi penggunaannya sampai 1945 huruf saja. Aksara kanji melambangkan suatu arti tertentu. Suatu Kanji dapat dibaca secara dua bacaan, yaitu Onyōmi (adaptasi dari cara baca China) dan Kunyōmi (cara baca asli Jepang). Satu kanji bisa memiliki beberapa bacaan Onyomi dan Kunyomi.


Tanda baca
Dalam kalimat bahasa Jepang tidak ada spasi yang memisahkan antara kata dan tidak ada spasi yang memisahkan antara kalimat. Walaupun bukan merupakan tanda baca yang baku, kadang-kadang juga dijumpai penggunaan
tanda tanya dan tanda seru di akhir kalimat.
Tanda baca yang dikenal dalam bahasa Jepang:
。(句点/kuten) Fungsinya serupa dengan tanda baca
titik yakni untuk mengakhiri kalimat.
、(読点/toten) Fungsinya hampir serupa dengan tanda baca
koma yakni untuk memisahkan bagian-bagian yang penting dalam kalimat agar lebih mudah dibaca


Angka dan Sistem Penghitungan
Bangsa Jepang pada zaman dahulu (dan dalam jumlah yang cukup terbatas pada zaman sekarang) menggunakan angka-angka
Tionghoa, yang lalu dibawa ke Korea dan sampai ke Jepang. Berikut ini adalah daftar angka-angka Jepang.
一Satu
二Dua
三Tiga
四Empat
五Lima
六Enam
七Tujuh
八Delapan
九Sembilan
十Sepuluh
Setelah Kekaisaran Jepang mulai dipengaruhi oleh
Eropa, angka-angka Latin mulai digunakan secara besar-besaran, dan hampir mengganti sepenuhnya kegunaan angka Tionghoa ini.
Dalam penggunaannya di Bahasa Jepang, dan untungnya juga agak mirip di bahasa Indonesia, angka-angka ini tidak bisa digunakan seperti itu saja untuk menyatakan sebuah jumlah dari sebuah barang, waktu dan sebagainya. Pertama-tama jenis barangnya harus dipertimbangkan, lalu ukurannya, dan akhirnya jumlahnya. Cara berhitung untuk waktu dan tanggal pun berbeda-beda, maka satu hal yang harus dilakukan adalah menghafalkan cara angka-angka ini bergabung dengan satuannya.


Cara menghitung barang
Barang secara umum
Untuk mengucapkan 1 buah yaitu ひとつ(hitotsu) dan seterusnya hanya menambahkan huruf tsu (つ)
Barang Panjang
Untuk mengucapkan 1 buah barang panjang (meteran) misal いっぽん(ippon). Biasa dipakai untuk menghitung jumlah pensil, botol, pohon.
Barang Tipis
Hanya perlu angka biasa ditambahi satuan まい(mai) sebagai akhiran, Misal:1 lembar いちまい(ichimai) ,dst . Bisa digunakan untuk menghitung jumlah kertas, baju, perangko, dan benda tipis lainnya.
Barang Besar
Hanya perlu angka biasa ditambahi satuan だい(dai) sebagai akhiran, Misal : 1 buah いちだい (ichidai),dst . Bisa digunakan untuk menghitung jumlah barang elektronik yang besar, atau barang besar pada umumnya, seperti televisi, kulkas, rumah, mobil dan sebagainya
Cara menghitung orang
Untuk mengucapkan seorang dan seterusnya menggunakan angka biasa ditambahi satuan にん(nin), misal: 3 orang さんにん (sannin) 7 orang しちにん (shichinin)
Tata Bahasa
Tata kalimat dalam Bahasa Jepang memakai aturan subyek-obyek. Subyek, obyek dan relasi gramatika lainnya biasa ditandai dengan partikel, yang menyisip di kalimat dan disebut posisi akhir (postposition). Struktur dasar kalimat memakai cabang topik. Contohnya adalah, Kochira-wa Tanaka-san desu (こちらは田中さんです). Kochira ("ini") merupakan topik dari kalimat ini. Kata kerjanya ialah "desu" yang berarti "it is" dalam bahasa Inggris. Dan yang terakhir, Tanaka-san desu merupakan cabang atau komentar dari topik ini.
Infleksi dan Konjugasi
Dalam bahasa Jepang, kata benda tidak memiliki bentuk numeral, jenis kelamin, atau aspek lainnya. Contohnya pada kata benda hon (本) yang mungkin berarti sebuah atau beberapa buku. Juga pada kata hito (人) yang mungkin berarti orang atau sekumpulan orang. Kata untuk menyebut orang biasanya dalam bentuk tunggal, contohnya Harada-san. Kalau kata panggil jamak, biasanya disebut -tachi.
Pertanyaan mempunyai bentuk yang sama dengan kalimat afirmatif. Intonasi akan meninggi setiap akhir dari kalimat pertanyaan. Dalam situasi resmi, biasanya kalimat pertanyaan disertai partikel -ka. Contohnya, kalimat ii desu (いいです。) yang berarti "Baiklah" menjadi bentuk ii desu ka (いいですか?) yang berarti "Boleh kan?". Biasanya pada situasi tidak resmi, partikel -no (の) untuk menunjukkan penekanan, contohnya pada kalimat Doshite konai-no? yang berarti "Kenapa (kamu) tidak datang?".
Kalimat negatif dibentuk dengan merubah bentuk kata kerja. Contohnya pada kalimat Pan o taberu (パンを食べる。) yang artinya "Saya akan makan roti) menjadi Pan-o tabenai (パンを食べない。) yang artinya "Saya tidak akan makan roti".
Adjektiva
Ada tiga bentuk kata sifat dalam bahasa Jepang:
形容詞 (keiyoshi) yaitu penambahan partikel -i, yang memiliki akhiran konjugasi い (i). Contohnya: 暑い日 (atsui hi) yang berarti "hari yang panas"
形容動詞 (keiyodoshi) yaitu penambahan partikel -na. Contoh: 変なひと (henna hito) yang berarti "orang aneh"
連体詞 (rentaishi) yaitu kata sifat sebenarnya. Contoh: あの山 (ano yama)

Partikel
Bahasa Jepang juga memiliki beberapa partikel yaitu:
が ga untuk bentuk nominatif
に ni untuk bentuk dativ.
の no untuk bentuk genital
を o untuk bentuk akusatif
は wa sebagai topik


Kesopanan
Biasanya untuk menghormati orang yang lebih tinggi, seperti kepada menteri atau direktur, dipakai bahasa Jepang sopan yang disebut (丁寧語) teineigo. Untuk menyebut nama menteri, diakhiri dengan partikel -sama atau -sangi. Contoh: Katsumoto-sangi (勝本ー参議). Untuk berkenalan, kita harus menggunakan bentuk bahasa sopan. Tapi, kalau sudah akrab, kita boleh memakai bahasa umum.


Kosa kata
Bahasa Asli Jepang yaitu berasal dari bahasa asli pemukim Jepang zaman dahulu disebut yamato kotoba (大和言葉 ) yang berarti kosa kata
Yamato. Kosakata Jepang sebagian besar berakar atau berasal dari Cina disebut kango (漢語) yang masuk pada abad ke-5 lewat Semenanjung Korea. Jepang banyak mengadopsi kosakata dari bahasa Inggris, kata-kata adopsi ini umumnya ditulis menggunakan huruf katakana. Contoh: マイカー (maikaa - sama dengan pelafalan "my car") yang berarti "mobil saya"


Belajar Bahasa Jepang
Beberapa
universitas internasional di dunia mengajarkan bahasa Jepang. Mulainya ketertarikan belajar bahasa Jepang sewaktu abad ke-18 Masehi, lalu melonjak dimana Jepang mulai memimpin ekonomi dunia pada tahun 1980. Bahasa Jepang semakin diminati karena mendominasi dunia kartun (anime dan manga) di seluruh penjuru dunia. Kebanyakan dari otaku (penggemar anime) bisa berbicara bahasa Jepang walaupun hanya dasarnya. Pemerintah Jepang sebagai pihak yang mengatur bahasa Jepang menyediakan tes profisiensi sejenis TOEFL yaitu JLPT (Japanese Language Proficiency Test).


Kekerabatan bahasa Jepang
Para pakar bahasa tidak mengetahui secara pasti kekerabatan bahasa Jepang dengan bahasa lain. Ada yang menghubungkannya dengan
bahasa Altai, namun ada pula yang menghubungkannya dengan bahasa Austronesia.[2] Selain itu ada pula kemiripan secara tatabahasa dan dalam susunan kalimat serta secara fonetik dengan bahasa Korea meski secara kosakata tidaklah begitu mirip.